Category Archives: Paket Senggol & Milist / My Act

tanggapan, Berbuka Puasa di Gereja Manahan Solo

HORAS tu hamu sude,

pariban br HOTANG-i, Rio SIMANJUNTAK…

sepakat untuk toleransi antar umat beragama dan agama adalah prinsip!

lain lubuk lain ikannya! so pasti itu, iban…

untuk semuahan…

maaf sebelumnya atas tanggapan / sentilan ini. aku bawa email ini ke kalian semuahan…

mungkin bisa menjadi pemikiran dan sharing diskusi kita…

pemikiran ‘udik’ ku seperti ini,

Read the rest of this entry

Pujian Dan Arti Berbagi Bagi Diri ku

sebuah email dari ku untuk teman dan sahabat ku, pagi menjelang siang hari ini…

~*~*~*~*~

PAGI BAIK!?
itu yang aku ku ingat dari salah seorang teman, Um/Bung Yappy (teman dari Papua bareng Um Gobby dunk yak)…temen gw juga lageee…

Setubuh!
tepatnya SEPAKAT!
Kalo ada pernyataan TUHAN YESUS sudah menyertai kita semuahan.
Read the rest of this entry

Doa Saya Untuk Pak Boediono

Doa Saya Untuk Pak Boediono

Salam sejahtera untuk kita semua.

Ketika hari Rabu (Selasa?) saya membaca harian Kompas pagi yang mengatakan bahwa pak SBY memilih pak Boediono
menjadi cawapres, wah, mata saya agak melotot. Terus terang, setelah pertemuan singkat saya dengan beliau, saya sangat terkesan dengannya.
Pertemuan itu terjadi ketika saya khotbah pada Natal Bank Indonesia bln Desember yl.

Karena saya persis duduk di sebelah kanan beliau, maka kami sempat ngobrol2. Wah, ketika itu saya merasa kerendahan hati beliau dan hidupnya yang bersahaja.
Sebelum beliau mendapat kesempatan untuk memberikan kata sambutan, kami sempat berbicara dan dengan sangat ramah beliau menjelaskan hal-hal yang perlu saya ketahui.
Dan ketika beliau dipersilakan berbicara ke depan memberikan sambutan Natal, kerendahan hati dan keramahan beliau sungguh sangat saya rasakan. Itulah sebabnya saya berbisik kepada bung Peter, “Jika orang seperti ini diberi kesempatan untuk memimpin Republik ini, apa tidak semakin maju dan cepat dipulihkan”.

Itulah sebabnya, saya semakin bersyukur dan memuji pak SBY yang dengan berani memilih beliau sebagai wakilnya (walau tentu tantangan akan dihadapinya). Sebaliknya, ketika saya membaca bahwa partai PAN dan PKS menolak beliau, maka saya kecewa sekali. Apa yang mau dicari oleh kedua partai yang mengatakan menonjol moral dan kejujuran itu?
Jika moral, kejujuran, kesungguhan, kesederhanaan dan kepintaran yang mau dicari, saya kira, beliaulah orangnya.
Mohon saya dikoreksi bila saya salah dalam menilai beliau.

Akhir kata, semoga doa saya pada Natal yl untuk beliau dan jajaran direktur BI (termasuk ibu Miranda Gultom) semakin menjadi kenyataan.

Salam hangat,
http://www.mangapulsagala.com
(Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan. Why.2:10)

-@- dari Ompu Ni Phoebe DAMANIK -@-

dikirim Ompu Ni Phoebe DAMANIK-mail-Duesseldorf-Germany / 04apr09
mauliate godang Oppung
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Subject: diskusi, Nurhayati Sirait Korban Kekerasan Suami

Horas, dan SELAMAT PASKAH UNTUK THN ini,

Saja terkejut membaca, tulisan br Sihotang dimana mengenai diskusi, Nurhayati Sirait korban kekerasan sang Suami,

Tidak ku sangka kami laki-laki Orang BATAK ini kok begitu kejam terhadap Istri,
Kita sebagai laki-laki Batak ini mohon lah jangan lagi terjadi jg begitu.

Saja sebagai Laki-laki Batak jg sudah berumur 70 Thn dan 39 Thn berumah Tangga dengan br Batak juga asal dari SIMALUNGUN jg tinggal di Jerman sudah 35 Thn. sangat kesal sekali mendengar itu.

Contoh kelemahan kita laki-laki Batak, Kalau Istri duluan meninggal dimana Suami tidak bisa bagus mendidik Anak-anak dalam

keluarga jg di tinggal kan si IBU tetapi kalau Suami duluan meninggal si IBU bisa membingbing, Anak-anak, dankeluarga. jadi kita Laki-Laki BATAK ini mesti sadar dalam hal ini. -Naima lobei

Mauliate,

Salam kami untuk br Sirait itu

HORAS,
OPPUNG ni PHOEBE DAMANIK Duesseldorf GERMANY

Nurhayati Sirait, Korban Kekerasan Suami

HORAS,

bukan mau memulai ‘pajago-jago-hon’ ya…
mari kita melihat sisi KDRT ini dari kehidupan Ni Halak Hita i…

untuk masalah Ibu Nurhayati br SIRAIT,
mungkin perlu juga dipertimbangkan alasan kenapa Ibu Nurhayati ‘terpaksa’ dan ‘HARUS’ pergi meninggalkan keluarga yang dalam hal ini adalah suami & ke dua anaknya yaitu bahwa kekuatan bathin, kekuatan tenaga, kekuatan badan ADA BATAS-nya (di luar Agama Kristen tentunya. maaf bukan mau membahas Agama satu ini meski pada kenyataannya tetap ke arah sana!).

aku salut atas keberanian Ibu Nurhayati. saat ini pastinya beliau sangat merasakan gejolak emosi yang luar biasa!
biarlah saat ini TERKUAK apa yang ada daripada membiarkan dan mendiamkan orang seperti suaminya, yang terus dan telah akan melakukan hal-hal KDRT ini!
huh!

sekarang aku mencoba menarik masalah KDRT ini berlandaskan dari apa yang ditulis Pariban nami, Poltak SIMANJUNTAK, yaitu:
1) penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan);
2) penganiayaan psikis atau emosional (seperti ancaman, hinaan, cemoohan);
3) penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja secara paksa dari suami;
4) penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan seksual)

No. 1 sd 3
I. penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan)
II. penganiayaan psikis atau emosional (seperti ancaman, hinaan, cemoohan)
III. penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja secara paksa dari suami

aku juga bicara sebagai seorang wanita, tidak kebayang jika ada seorang laki-laki menampar, memukul ku (contohnya saja) dan di saat itu aku hanya bisa diam

karena takut (yang dilawan laki2 coy!? maaf)

kami sebagai kaum wanita harus bagaimana?

ini yg keliatan alias TAMPAK MATA, ito/eda…
yang TIDAK TAMPAK MATA bagaimana dunk?
yaitu sebuah TRAUMA…sekali lagi aku tuliskan TRAUMA!
tidak mudah untuk melepas sebuah TRAUMA dalam otak, fikiran dan hati seseorang!
itu juga yang aku yakin terjadi dengan Ibu Nurhayati.

kalau ada tertulis pemikiran bahwa kadang2 seorang LAKI2 BATAK, di rumah sedang ‘dartingon’ dan kemudian seorang istri, BORU BATAK malah nimpali alias jawab2, apa ini sebuah alasan untuk seorang laki2 memukul, menampar, menendang serta mengancam? heheheeee…eee…
hanya laki2 yang dapat menjawab ini, bah!
annon haluar lagu Betharia SONATA i, (nyontek istilah sis Agnes br PANE) yaitu:
PULANGKAN SAJA AKU PADA IBU KU ATAU AYAH KU…

alaiii…iii
tu hamu, INANG SORIPADA, BORU BATAK i, BORU RAJA i…
mbok yaaa belajarlah, dicobalah untuk tidak menambah minyak tanah dari api yang sedang menyala.
bisa dunk dengan cara diskusi yang baik?
kalau sudah sakit kenal pukul, bagaimana dunk?
kalau sudah keluar kata2 hinaan dan cemoohan, mau dikata apa?
apa mau ditambah dengan ancaman pulak?
tambah lagi dikurangi jatah belanja? hayaaa…aaa…
rasain aja ndiriiiii…maaf.
(sok nasehatin lu, di!?)

kalau ada pemikiran mengenai ‘karir istri’ lebih tinggi dari pada ‘karir suami’ (anggap aja deh penggangguran) adalah salah satu sebab terjadinya KDRT…hehehe…eee…
pertanyaan & PR juga buat ku tentunya!

alaiii…iii…
tu hamu, AMANG SORIPADA…
mbok yaaa malah bangga gitu lho atas keberhasilan seseorang dimana keberhasilan itu malah datang dari seorang istri.
kenapa malah tidak dicoba untuk mulai mendukung sang istri?

kalau untuk INANG SORIPADA, BORU BATAK i, BORU RAJA i…
jangan sok kalilah kita ini…toh disaat kita memilih dan memutuskan SUDAH DAPAT MENERIMA-nya, kenapa setelah jadi istri jadi pantang sok hebat? patentengon?
(salah nulis nggak neh) hehehe…eee…
kayaknya kudu sadar kita bah, klo enggak ada laki2 di rumah, susah juga…benar demikian?
ato malah ada yang SUPER WOMAN? heheheeee…eee…

III. penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan seksual)
seremmm…mmm…untuk bahas ini euyyy…
sudah terjadi hal I, II, III…ditambah lagi dengan penganiayaan seksual…hmmm…ruarrr biasa!!
wahwahwahwahhhh…tidak terbayangkan tentunya? sangat panjang kalau mau dibahas.

maaf sebelumnya, mungkin difikirkan juga bahwa ada KELAINAN SIFAT/PENYIMPANGAN dari suami tersebut (sakit.read) yang umumnya anak sekarang mengatakan BAWAAN OROK!?
kayaknya yang sangat perlu di perhatikan dan diperiksa adalah si suami korban deh kalau diangkat dari kasus Ibu Nurhayati.

kalau aku tarik dari Versi RT Orang Batak,
inikah dan beginikah Rumah Tangga versi ni HALAK HITA i? (yg bermasalah seperti ini?)
inikah sifat saya sebagai Orang Batak?
inikah kita?

terlepas dari semua yang aku tuliskan, sekali lagi aku minta maaf atas pandangan dan tulisan ini.

Ibu Nurhayati br SIRAIT, hanya dukungan doa untuk saat ini yang bisa aku berikan.
<sampaikan ya Iban Poltak>

peace & love
~ds
~~~~~~~~~~~~~~~~
fRom = sri agung <de.sri.agung@gmail.com>

diskusi, Nurhayati Sirait, Korban Kekerasan Suami-Sebuah Kesaksian

begitulah rumah tangga, dan terutama begitulah rumah tangga orang batak.
keselamatan rumah tangga adalah sesuatu yang HARUS dijunjung tinggi.
Ibu Nurhayati, kalau boleh saya menyarankan, ada baiknya ibu mencoba untuk berkonsultasi ke konselor pernikahan.
Meski tidak menjamin suami ibu seperti yang ibu harapkan suami layaknya dalam mimpi indah Ibu ketika belia dulu, namun Ibu akan memiliki suatu semangat, Ibu

akan memiliki daya untuk menjalani hidup.
Hal yang paling sulit adalah mendoakan orang yang melukai kita, tapi cobalah itu dari hati.

Ibu Nurhayati, pagi tadi di angkot pun saya mendengar seorang ibu (saya yakin dia Batak, sebab menyebut orangtua dan adiknya kepada anaknya OPUNG dan TULANG

Tigor), dia pergi dari rumah karena anaknya bilang “mama, kita pergi karena papa marah2. terus ya?”.
Hati saya selalu miris membayangkan nasib psikologis anak2. korban KDRT. Itu PR berat para orang tua.

Doa saya untuk Ibu, semoga diberikan ketabahan.

-sri agung-

(Kutipan-http://groups.yahoo.com/group/Batak_Gaul/message/76948)

DUKUNGAN bagi Ibu Nurhayati br SIRAIT

HORAS tu hamu sude…

nunga ro muse…

yeeee…sedih banget gue baca KESAKSIAN ini…
alamak…
tu di ma?
tu dia na ma ahu?
tu dia boru/anak hi?
hayaaa…aaa…

Ibu Nurhayati br SIRAIT,
aku hanya bisa membaca, menyimak, memahami, memaklumi, merasakan apa yg terjadi,
apa yang diri mu rasakan, derita bathin mu tentunya…
apalagi dalam kesaksian mu yg terakhir mengatakan HARUS meninggalkan ke dua
anak, mu…
sangat sangat bisa aku rasakan, Ibu…
(amang oiiiiiii…)

dari hati yg paling dalam, aku dukung untuk Ibu, apa yang sudah dilakukan hingga
hari ini
(tetap sabar, kukuh & berani hadapi segala masalah yang akan dihadapi nanti)

hanya doa, hanya doa untuk Ibu yang dapat aku lakukan dari jauh.
tapi aku yakin Ibu dan anak2 akan keluar dari lingkaran ini!

Tuhan berkati Ibu

peace & love
~ds
<mauliate artikel indah ini, pariban nami SIMANJUNTAK>

(Kutipan-http://groups.yahoo.com/group/Batak_Gaul/message/76891)

~~~~~~~~~~~~~~~~

Nurhayati Sirait, Korban Kekerasan Suami-Sebuah Kesaksian
Oleh : Poltak SIMANJUNTAK

Atas semua tindak kekerasan, pemukulan, cacian, penghinaan yang menjadikan saya sebagai seorang perempuan, istri dari seorang suami yang gemar melakukan kekerasan dan ibu dari keempat anak-anakku yang juga mengalami penderitaan, saya dengan sangat terpaksa membuat kesaksian, berupa pengakuan jujur akan apa yang saya hadapi.

Selain, berharap ada yang tergerak untuk membantuku dalam kelemahan dan ketidakberdayaan yang menderaku, aku juga berupaya agar kejadian seperti ini tidak pernah terjadi kepada perempuan, istri dan ibu dari anak-anak yang lain, sebab hanya penderitaan yang terjadi.

kdrt41Saya, istri dan ibu dari anak-anakku, yang diberi nama Nurhayati Sirait, Lahir di Dairi, 11 Januari 1967, beralamat/ domisili di Jln. Pendoro IV RT 03 / 08 No. 4 Kota Depok, mengungkapkan sisi gelap kehidupanku menjalani kehidupan keluarga yang awalnya saya pendam, karena saya anggap hanya membuka aib keluarga.

Didorong penderitaan yang berkepanjangan dan harapan akan masa depan anak-anakku, maka aku harus bertindak untuk tidak terus menerima deraan kekerasan ini dengan diam. Walau saya sangat sadar, bahwa tidak ada kekuatan yang kumiliki sekarang, untuk keluar dari kemelut ini.

Keyakakinanku, Tuhan akan menunjukkan penolong bagi aku dan anak-anakku untuk melewatinya. Dan, harapan lain adalah, agar kasus yang sama tidak terjadi bagi orang lain yang mengetahui penderitaanku ini.

Diawali Pernikahan

Tanggal 16 Januari 1984, tanpa didahului masa berpacaran, saya akhirnya menikah dengan seorang pria dengan bernama Hasudungan Tambunan, lahir Medan, 5 September 1963, yang terpaut perbedaan umur 4 (empat) tahun denganku, di Gereja GKPI Glugur Darat – Medan.

Ketika perkawinan berlangsung di gereja, seharusnya menjadi saat yang paling bahagia dan damai, ternyata itu tidak terjadi, sebab laki-laki yang akan menjadi suami saya justru menunjukkan sikap yang sebaliknya. Hal-hal yang menurutku tak perlu dikomentari secara berlebihan,seperti tata cara nikah gereja, ataupun prosesi adat dinodai dengan kata-kata kotor dan kasar yang tak pantas untuk didengar.

Saya kaget, mengenalnya satu bulan memang belum cukup untuk mengetahui pribadinya secara mendalam, tapi saat perkenalan kami, kelihatannya termasuk laki-laki yang baik dan sopan dan tidak pernah terlintas di benak saya, jika dia dia sangat kasar, walaupun saya tahu bahwa dia bekerja di pasar Blok M, Jakarta.

Enam bulan pertama, perselisihan sering terjadi, satu hal diantaranya adalah kehadiran Adik perempuan suamiku Emi Herawaty Tambunan yang juga tinggal se-rumah dengan kami, selalu menyulut pertengkaran-pertengkaran kami. Keberpihakannya terhadap anggota keluarganya selalu menjadi pemicu pertengkaran kami yang baru berkahir setelah Eda ku pulang ke Medan.

Bulan Desember 1994, pertengkaran terjadi di rumah hingga saat itu, dia (Suami) melempar saya dengan asbak dan saya lari menghindari amukannya yang semakin tidak terkendali. Suatu hari kami ribut tengah malam, dikarenakan dendam yang telah berkecamuk di hati saya, Saya tidak mau melakukan kewajiban saya sebagai istri, ini membuat saya diseret dan dipukuli. Saya lari ke rumah saudara dan berusaha menenangkan hati di sana. Ketika suasana hati mereda hingga dapat melupakan kejadian itu dan akhirnya aku kembali menjalankan kewajiban saya sebagai istri.

Desakan pihak keluarga untuk kembali ke rumah dan berlaku normal pun saya ikuti. Tapi hati saya masih sangat sakit karena perlakuan kasarnya, Ditambah lagi sikapnya yang seoalah-olah tidak pernah melakukan kesalahan – seolah tidak terjadi apa-apa – terlihat dari rona wajahnya yang justru menyuburkan rasa gundah di hati saya.

Melahirkan Anak Pertama, Berharap Membawa Perubahan

Marta Bella, putri kami lahir tanggal 8 Februari 1996, yang kuharapkan sebagai pembawa perubahan suami agar lebih bijaksana. Tapi harapan tinggal harapan. Sifat kasarnya tak pernah berubah. Kuakui bahwa dia memang pekerja keras. Dan aku menduga ada kemungkinan atas kerja kerasnya ini membuatnya menjadi orang yang mengukur kebahagiaan dari jumlah uang diperolehnya.

Percekcokan karena masalah pengeluaran keuangan pun tak pelak terjadi. Seberapa kerat pun aku berusaha menghemat penggunaan uang pemberiannya, namun dia selalu mencurigainya. Orang tuaku akhirnya mengetahui keadaan keluarga kami. Tanpa kumintai tolong, orang tuaku yang tinggak di Sidikalang Kabupaten Dairi, memberikan pertolongan dengan memberikan kepada kami sejumlah modal untuk kupergunakan menambah penghasilan. Dengan modal tambahan dari orang tua saya ini, saya akhirnya berdagang pakaian secara kredit.

Aku menekuni usaha ini walau harus membawa serta putri kami untuk berdagang keliling. Tidak berlangsung lama, tuntutan suami agar “siap sedia 24 jam” melayaninya. Begitu seringnya tuntutan ini dia kemukakan, hingga menjadi bahan perselisihan baru di antara kami. Padahal, walau saya harus berjualan, yang namanya kewajiban sebagai ibu rumah tangga tetap saya laksanakan.

Namun kerja keras bekerja di rumah dan berjualan keliling akhirnya kuhentikan, sebab menjadi sumber malapetaka yang menambah kesusahanku setiap hari. Setelah usaha itu aku hentikan, saya berupaya sekuat tenaga untuk melayaninya penuh, termasuk bangun tengah malam untuk menyiapkan hidangan baginya.

Hingga pada suatu suatu hari, ketika itu anak saya masih berusia 10 bulan, dan saya dalam keadaan sakit. Suami saya meminta dibuatkan santap larut malamnya. Saya tolak dengan halus dengan mengatakan bahwa aku sedang sakit. Tapi dia terus mendesak dengan mengeluarkan umpatan keras dan bukannya mempercayai keadaanku yang sedang sakit. Dengan disaksikan oleh Lisbet Siboro, tetangga orang tua saya di Sidikalang, suami saya mengamuk sejadi-jadinya. Kepala, muka dan seluruh badan saya mendapat pukulan keras. Saya hanya bisa meringis dan menangis menahankan siksaan suami. Badan saya mengalami memar, lebam di sekujur tubuh dan aku tidak bisa melakukan perlawanan sebab tubuh lemah karena sakit.

Mendapat perlakuan biadab dan sangat menyakitkan seperti ini, akhirnya saat itu juga saya minta agar diceraikan saja. Sumai saya bukannya mengurangi siksaanya sambil berucap “Sana kamu pulang ke Sidikalang!”, sambil melayangkan pukulan ke mukaku. Menjambakku dan menghempaskan tubuh lemahku. Aku merasakan kesakita yang luar biasa.

Ingin lari dari hadapannya, namun saya harus bertahan mengingat saya sebagi istri yang menjunjung tinggi adat Batak, dan agama yang kupeluk. Penyiksaan ini berhenti setelah dia puas melampiaskan nafsu amarahnya. Dan, aku tidur meringkuk menahankan kesakitan akibat pukulan dan kesakitan yang sejak seharian menderaku.

Hidup berkeluarga di bawah ketakutan dan ancaman kekerasan terus kujalani. Saya, bertahan demi menjaga nama baik kedua orang tua saya. Selain itu, banyak anjuran tetangga, baik yang menghibur, walau tidak sedikit yang justru melontarkan ucapan dan penilaian yang menyakitakan telinga. Hingga waktu saya pulang ke Medan, karena ada acara pernikahan adik kami, keponakan saya Lisbet juga lari dari rumah, karena tidak tahan melihat saya selalu dipukuli.

Kejadian demi kejadian terus saya simpan. Tidak ada satupun keluarga yang tahu perlakuan kasar yang saya alami. Hanya menjadi cerita buruk di rumah tangga kami saja. Saya terus mencoba bertahan, hingga kami pindah ke Pondok Labu. Saat itu saya mengandung anak ke dua.

Kondisi saya sangat lemah saat kehamilan anak yang kedua, sehingga saya harus di bawah pengawasan dokter. Saat dua bulan usia kehamilan, mertua laki-laki saya meninggal dunia. Kami semua pulang. Barangkali terlalu capek setelah penguburan, saya mengalami pendarahan hebat, hingga dibawa ke Rumah Sakit dan diopname.

Suami saya benar-benar tidak perduli dan tak berniat sama sekali untuk menunggui saya di rumah sakit, melainkan mengutus orang lain yang juga tidak bersedia karena kesibukannya. Dalam kindisi kesakitan di rawat di rumah sakit, saya marah besar yang justru ditanggapinya dengan ucapan sangat kasar. Melontarkan kata-kata kotor dan caci makian. Bahkan saat saya menderita pendarahan sekalipun, tak ada kasih dalam bentuk kepeduliannya – selain memaki – hanya tekanan “Cepat Pulang ya!”. Dia menunjukkan keberatannya atas biaya pengobatan, dan bukan memikirkan kesehatan saya.

Tak tahan dengan penderitaan dan kesedihan ini, saya menceritakannya kepada kakak saya. Rasa kasihan dan iba, akhirnya kakak saya membawa saya pulang ke Sidikalang untuk dirawat. Namun, pendarahan terus berlangsung, saya kembali diopname di Kabanjahe. Setelah beberapa hari di rawat di RS di Berastagi, dan pendarahan terhenti, saya untuk sementara tinggal di rumah mertua di Medan, sedangkan suami saya pulang ke Jakarta. Tak tahan dengan sikap mertua saya yang seakan tak peduli dan sama sekali tidak menghargai kehadiran saya, akhirnya saya memutuskan kembali ke Jakarta.

Memasuki usia 8 (delapan) bulan kandungan saya, kami ribut lagi. Pemicu keributan menyangkut uang. Suami saya, menampar saya sekuat tenaganya, dan akibat kesakitan dan keterkejutan saya menjerit sejadi-jadinya, sambil memegangi perut saya ingin menunjukkan kepadanya bahwa saya dalam keadaan hamil. Di luar dugaanku, suami saya malah berucap lain yang sangat menyakitkan hati.

Kalau sedari dulu aku tahu begini keadaanmu, setiap hamil pendarahan terus, saya tidak mau kawin, dengan kau!” Sungguh kata-kata yang tidak layak diucapkan oleh seorang suami. Saya hanya bisa diam dan tetap berdoa – walaupun sebagai orang Kristen yang jarang ke Gereja – saya merasakan bahwa doa menjadi sumber penghiburan saya di tengah masa-masa sulit saya berumah tangga, serta selalu mengingat bahwa kunci kesuksesan rumah tangga ada di tangan seorang ibu.

Tanggal 24 September 1998 lahirlah anak perempuan kami yang ke dua Masta Septy. Di usianya yang masih 3 (tiga) bulan terjadi pertengkaran yang kembali membuat saya mengalami kekerasan fisik. Saya ditendang, segala sumpah serapah terlontar dari mulutnya. Anak kami yang masih bayi ikut menjadi korban, sebab kami terlibat dalam perkelahian. Saling tarik-menarik. Secara kasar dia menarik tubuhku ketika berupaya lari menjauh darinya. Anak yang saya gendong turut menangis, sebab terkena benturan.

Di bawah ancamannya untuk tetap tinggal atau pergi tanpa anak-anak. Saya hanya sempat membawa “kabur” bayi saya. Tapi dengan pertimbangan malu dengan tetangga, saya kembali pulang. Sejak saat itu nyaris kami bagai orang asing yang tidak saling bertegur sapa.

Hingga suatu hari tetangga datang dengan kumpulan marga untuk menasehati kami agar kami hidup layaknya suami istri yang saling mengasihi dan saling terbuka. Namun, begitu banyak pun nasehat, atau anjuran baik dari tetangga, maupun keluarga, jika menghadapi persoalan pasti menimbulkan pertengkaran.

Baginya uang yang ada adalah uangnya, bukan uang kamu. Setiap uang yang diberikannya selalu disertai dengan suatu pertanyaan “kemana saja uang itu kamu pakai?”. Padahal, pada tahun 1994 ketika itu, saya hanya diberi setiap bulan hanya Rp. 150.000,-. Setelah anak pertama lahir menjadi Rp. 250.000 per bulan. Tambah anak lagi, di beri uang Rp. 20.000,- per hari. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakannya, inilah yang saya jalani hingga bulan Juli 1999, kami pindah rumah ke Pondok Labu waktu itu.

Melahirkan Putra Kembar

Moses dan adiknya Madya lahir. Kelahiran anak kembar dan laki-laki pula membuat saya senang dan berharap suami saya akan berubah. Ternyata itu hanya harapan kosong. Suami saya tetap saja tidak bergeming. Baginya, uanglah yang menjadi prioritas utamanya.

Seingat saya, setiap bertengkar, kepala saya selalu menjadi sasaran utama, dibenturkan ke tembok. Saya masih ingat, pertengkaran kami yang paling dahsyat, tahun 2005 silam, dan sampai saat ini tidak bisa hilang dari ingatan saya.

Bermula dari kios kami yang terbakar di kawasan Blok M. Praktis suamiku tidak lagi berdagang. Akulah yang mencari uang dengan membuka took sembako di rumah. Saat itu uang yang kami pakai untuk berbisnis dibawa lari orang, tidak tanggung-tanggung, Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Saat itu, saya dilempar kursi, hingga mengenai badan dan kepala saya (hingga saat ini ini, kursi itu saya simpan). Disertai caci maki kasar, “Setan. Kurang ajar. Mampus Kau”, diiringi lemparan kursi.

Bekas memar dan luka di tubuhku, kuobati dengan harapan agar tidak sempat terlihat oleh orang lain. Rasa sakit dan ketakutan, membuatku menjadi perempuan, istri dan ibu anak-anak yang tidak percaya diri. Takut salah dan menjadi pendiam. Aku memendam kesakitan dan dendam terhadap perlakuan kasar. Bagiku hidup bagai di neraka.

Sementara anak-anakku tidak saja menyaksikan kekerasan terhadapku. Mereka juga menjadi korban. Mereka ketakutan setiap hari. Sebab, ketika makan kalau dalam kondisi marah, suamiku yang bapaknya anak-anakku tidak segan-segan memukul mereka bahkan membuang nasinya. Begitu besar ketakutan anak-anakku terhadap bapaknya, sehingga suatu ketika mereka harus bersembunyi di kamar mandi menghindari penyiksaan bapaknya. Bahkan yang lebih menyayat hati, suatu ketika anakku yang perempuan itu, berani bersembunyi di atap rumah, hanya untuk bersembunyi dari bapaknya.

Dalam kondisi biasa pun, suami saya hanya tertarik pada pembicaraan mengenai uang. Dia memperingatkan supaya tidak menghabiskan uang di took. Tidak boleh mengirimkannya ke orang tua. Rupanya dia mencurigai aku, telah mengirimkan uang kepada orang tua saya di Sidikalang. Padahal, sebaliknyalah yang terjadi. Orang tua saya yang secara ekonomi berkecukupan karena membuka usaha Toko Emas di Sidikalang, sering mengirimi kami uang.

Mendapat tuduhan seperti ini, saya tetap bersabar dan saya merawat anak-anaku, yang sudah mulai tumbuh besar. Namun, walaupun saya tidak melakukan perlawanan, ketika dia marah, tetap saja dia berani melempari saya dengan karung berisi beras. Reaksi yang saya bisa perbuat hanya menangis, tapi dia semakin marah dan semakin melempari saya dengan barang-barang yang ada di dekatnya. Ini terjadi berulang kali dan kerap disaksikan para sales-sales yang kebetulan datang ke toko.

Ketakutan selalu dipukul dan dimaki suami, menghantui hidup saya setiap hari dalam menjalankan usaha sembako. Ketika suami saya memulai mempertanyakan uang, dan ketika stok barang di toko semakin berkurang, maklum keuntungan bahkan modal terpaksa harus terpakai membiayai hidup keluarga, akhirnya saya meminjam uang pada Bp Rista, untuk menambah modal toko sebesar Rp.10.000.000,-.

Dengan tambahan modal ini, usaha kami dapat bertahan dan berkembang sehingga mendorong saya berani meminjam ke Bank Danamon. Pihak bank juga menaruh kepercayaan melihat perkembangan toko saya yang boleh dikatakan maju. Sehingga meluluskan pemberian kredit tanpa agunan sebanyak Rp. 11 juta dimana saya harus mengangsurnya sebesar Rp. 1.250.000,- per bulannya, selama setahun.

Segala usahaku untuk mengembangkan usaha kami ini ternyata bukan mendapat tanggapan positif dari suami saya. Tindakannya justru semakin menjadi-jadi. Jika dia melakukan pemeriksaan laci dan mendapati bahwa uang hanya sedikit, dia langsung marah-marah dan mulai mencaci-maki. Tidak hanya itu, suatu ketika saya juga pernah dilempar tabung gas ukuran kecil, sambil tak lupa menyertakan umpatan “Setan. Anjing kau!”, katanya berulang-ulang.

Tanggal 5 Pebruari 2009, ketika anak-anak membutuhkan sejumlah uang untuk biaya sekolah, sementara uang tersedia dari toko tidak cukup jumlahnya, akhirnya saya memberanikan diri untuk menggadaikan emas yang dia simpan senilai Rp.8.500.000,-. Untuk memberitahu sebelumya saya sudah pastikan tidak mendapat ijin, sementara kebutuhan sekolah anak-anak mendesak.

Sepandai-pandai saya menutupi, ternyata suamiku yang sedari dulu sudah menaruh curiga, akhirnya mengetahui bahwa emas kami yang disimpan tidak lagi berada ditempatnya semula. Akhirnya saya menjelaskan bahwa emas itu saya gadaikan sementara menunggu uang dari toko terkumpul. Dan, uang hasil gadai itu saya pergunakan untuk membiayai biaya sekolah anak-anak. Ketakutan saya ternyata terbukut. Tanpa menunggu waktu lama, suami saya langsung bereaksi. Marah dan langsung memukul kepala saya dengan sepatunya. Saya merasakan pusing dan sempoyongan. Tidak cukup dengan lemparan sepatu, dia melemparkan laci meja yang mengenai wajah saya hingga memar dan berdarah.

Hampir hilang kesadaranku, hingga tak mampu untuk menghindar dan menyelamatkan diri. Tangisanku dan jeritan anak-anak tidak diperdulikan. Kemarahanya semakin menjadi-jadi. Kepala, tangan dan sekujur tubuhku terasa sakit. Hingga hari ini, di pelipis atau tulang pipih saya masih sakit kalau ditekan dan kepala saya sebelah kiri sering sakit akibat pukulan laci. Jempol sebelah kanan saya sakit hingga kini, karena saya pakai melindungi kepala ketika dia menginjak kepala saya.

Tanggal 21 Maret 2009, tidak tahan lagi merasakan kesakitan, hinaan, caci maki, akhirnya saya memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah. Saya membutuhkan uang, yang saat itu semua uang sudah dikuasai oleh suami, sehingga saya mengupayakan dengan meminjam uang kepada tetangga sebesar Rp. 2.000.000,- untuk membeli tiket. Karena kekurangan uang untuk membeli tiket untuk lima orang dan mengingat 2 anak saya masih sekolah, akhirnya dengan uraian air mata, saya membeli tiket hanya untuk 3 (tiga) orang, saya dan 2 (dua) anak saya yang kembar. Sementara yang dua anak saya harus saya tinggalkan.

Tanggal 22 Maret 2009, saya ke Bandara tanpa uang untuk membayar Air Port Tax. Dengan semua kemampuan mengekspresikan penderitaanku, akhirnya petugas di Bandara Cengkareng memuluskan aku dan kedua anakku masuk ke ruang tunggu tanpa bayar Air Port Tax. Dengan menumpang pesawat Lion Air, penerbangan pukul 20.40 wib, saya tiba di Medan (Polonia) pukul 22.56 polonia, dan langsung menuju rumah temanku di Jl. Sisingamangaraja Medan.

Selama 3 (tiga) hari di rumah temanku ini, akhirnya hari Rabu, 25 Maret 2009, saya dijemput oleh ibu yang melahirkanku R. br. Simanjuntak dan Kakak kandungku Rosdiana br. Sirait untuk dibawa ke Sidikalang. Sekarang, aku sudah aman dari ancaman pukulan dan kekerasan suami. Tetapi, kedua anakku ternyata mengalami penderitaan seperti yang kualami. Melalui pembicaraan telepon, aku tahu bahwa kedua anakku terpaksa meninggalkan rumah dan pergi ke rumah saudara yang tergolong jauh. Bukan semakin tenteram, namun aku tersiksa memikirkan nasib mereka berdua Martha dan Mastha yang sekolahnya terganggu, ketakutan dan hidup tanpa kasih sayang ibunya.

Oh Tuhan, sampai kapan badai ini menerpaku. Aku tak kuat lagi…..

Saya yang menuturkan penderitaan,

Nurhayati Sirait

Poltak Simanjuntak
http://poltak.simanjuntak.or.id
YM: poltak_7765

KDRT? malu? cuex?

Wuihhhh…KDRT coy…demen banget gue…

Modi BG, punten mau nanggapi masalah ini yaaa…makasehhhh…

Untuk masalah KDRT emang asyikkkk banget dibicarakan, UNANG HOLAN NA SIP!

Apalagi untuk para KORBAN…terlebih halak hita, BORU BATAK!

Malu?
Lebih baik MALU atawa lebih baik TERUS dilakukan hal2 spt tertulis di bawah oleh
si PELAKU KDRT?
1) penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan);
2) penganiayaan psikis atau emosional (seperti ancaman, hinaan, cemoohan);
3) penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja secara
paksa dari suami;
4) penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan seksual)

Apalagi untuk no.2 sd 4 hmmm…diem aja (TIDAK TAMPAK.read) tuh nomor tapi sering banget TIMBUL dalam sifat pribadi seseorang pelaku KDRT!

Klo KDRT SUDAH kena ito-nya, saudaranya, kerabat dekatnya bahkan anak boru-nya…mangap deh kasih komentar…klo tidak?
Hehehehehe…
Bener nggak para SIMANJUNTAK na adong di dunia maya?
(bah!…kok jadi SIMANJUNTAK yaaa? Unang muruk hamu, pariban namiiii
hehehehehe…)
Atawa bener tidak untuk semua anggota BG-ers?

kalau…kalau….kalau lagi asyik2nya mar-HALLET…(maaf) jadi teringat deh sebuah lagu batak,

Hu pagalak api di tataring…
alai tung mansai ngali di borgin i…
Ganup ari ahu sai marpikkir…
andingan do ulaning pajumpang dohot ho ale HASIANnnnn…(waksss)

atawa ada lagi ‘saponggol’ lagu batak yg mengatakan (yaksss),

molo hu ingot do pargaulan ta…
tung so adong nian na hurang i…
holong do rohangki nimmu tu ahu…
jala ahu pe songon i tu ho…

boasa ma ito dung saonari…
gabe muba do sude da janjimi…
tung so adong nian hubahen na sala…
hansit ni roham i dahasian…

Pertanyaannya, adakah para laki2 diperlakukan KDRT oleh wanita? Hmmm…ada aja kali yeeee…

amang parmusik…salah nulis nggak nih?
buat dulu lagu yg cocok untuk KDRT ini fhuang…

mauliate

peace & love
~ds

(kutipan, http://groups.yahoo.com/group/Batak_Gaul/message/76847)
~~~~~~~~~~~~~~

KDRT Meningkat, Peran Kita Apa?
Oleh : Poltak SIMANJUNTAK

KDRT, Kejahatan Terlindungi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai tingkah laku sosial menyimpang yang terjadi dalam lingkungan yang lebih sempit–rumah–dalam kenyataannya susah untuk dipantau, apalagi untuk diselesaikan. Korbannya dan pelakunya selalu jelas. Istri atau anak-anak, korban kekerasan suami atau ayah.

Tidak memilih lingkungan sosial, bisa terjadi di perkotaan dan di pedesaan. Juga tidak memilih korban dan pelaku. Kaum intelektual atau terpelajar, maupun orang berpendidikan pas-pasan. Kepastian yang dapat dicatat bahwa korban terbanyak adalah di pihak istri dan anak-anak dan selalu mengalami pengulangan dan tanpa penyelesaian yang pasti.

Kekhawatiran akan semakin meningkatnya kasus KDRT, sejak lama sudah diantispasi oleh badan dunia seperti PBB (The United Nations Declaration on The Elimination of Violence Against Women, 1993) yang mendeklarasikan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, aitu kekerasan dalam keluarga  (domestic violence); kekerasan dalam masyarakat; dan kekerasan dalam negara.

UU KDRT, Ready for Use
Republik Indonesia sebagai salah satu anggota PBB, meresponnya 11  tahun yang kemudian menetapkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT yang mulai berlaku 22 September 2004. Tentu dengan diterbitkannya UU ini terselip harapan, kasus serupa dapat ditekan jika tidak dapat menghapuskan sama sekali.

Terobosan hukum spertinya menunjukkan keseriusan negara dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak, dimana asas <emullus testis nullus testis</em (satu saksi bukan saksi) yang diatur KUHAP, dimana keterangan saksi korban saja sudah cukup membuktian terdakwa bersalah, sebagaimana tertulis dalam Pasal 55 UU PKDRT yang berbunyi :
“Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

Persoalannya tergantung pada hakim yang menanganinya apakah teroboson hukum ini dimanfaatkan atau tetap berkutat pada ketentuan KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya (pasal 185 ayat 2).

Hambatan Penegakan UU KDRT
Selain hambatan teknis praktek hukum dalam penanganan kasus KDRT, juga diperulsulit oleh kenyataan bahwa kejadian KDRT masih dianggap sebagai persoalan privat yang dapat merugikan nama baik dan martabat keluarga.Berdasarkan anggapan ini, maka memilih untuk melaporkan pelaku KDRT ke pihak kepolisian menjadi sesuatu yang langka. Pelaku akan terlindungi sedemikian rupa di bawah kepentingan ‘aib” sosial di keluarga pelaku dan korban. Walau, sebenarnya tindakan kekerasan itu sudah menjadi aib besar, yang tidak perlu terpublikasikan dan korban terpaksa menghindari ranah hukum yang sudah tersedia dan siap dipergunakan.

Dengan kedua kondisi ini, maka sangat terbuka kemungkinan meningkatnya jumlah dan kualitas kekerasan dalam rumah tangga dan berulangnya tindakan yang dilakukan oleh pelaku terhadap objek yang sama, yaitu istri dan anak-anak.

Jika melihat berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga baik yang terpublikasikan maupun ‘terpaksa’ dipetieskan, terlihat peningkatan jumlah kasus dan improvisasi tindak kekerasan yang terjadi seperti
1) penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan);
2) penganiayaan psikis atau emosional (seperti ancaman, hinaan, cemoohan);
3) penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja secara paksa dari suami;
4) penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan seksual).

Hasil pengamatan terhadap kasus-kasus KDRT baik yang terpublikasi maupun yang sengaja ditutupi, diketahui bahwa jenis kekerasan yang paling menonjol adalah penganiayaan fisik. Bukan berarti penganiayaan fisik tidak terjadi. Sebaliknya, pada kenyataannya kekerasan non-fisik justru sangat tinggi. Hanya sering diabaikan sebab kembali masih hanya dilihat dan dimaknai sebagai wilayah yang sangat pribadi.

Gabungan praktek kekerasan fisik dan non fisik selalu menjadi paket dalams sebuah kasus KDRT. Antara penyikasaan fisik dengan umpatan, caci-maki dan hinaan, sering terjadi bersamaan. Paling tidak kekerasan non-fisik mendahului kekerasan fisik.

Peningkatan Kasus KDRT
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2007 dari 25 ribu kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 17 ribu di antaranya dilakukan oleh suami terhadap istri, dan terjadi peningkatan yang signifikan dari 17.772 kasus tahun 2007, dibanding hanya 1.348 kasus tahun 2006.

Hal yang sama dicatat oleh Hukum LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan(APIK) yang melaporkan ada 254 kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sepanjang tahun 2008, meningkat cukup tinggi dibandingkan yang terjadi pada 2007 yang hanya 216 kasus. Dan menurut, WCC (Woman Crisis Center) Cahaya Perempuan dan LBH Apik Medan tahun 2005 tercatat sebanyak 189 kasus, tahun 2006 meningkat menjadi 198 kasus. Sedangkan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Dit Reksrim dan Sejajaran Polda Sumut untuk tahun 2005 di Poltabes Medan tercatat sebanyak 9 kasus, Deli Serdang 6 kasus, Binjai 4 kasus, dan Tebing Tinggi sebanyak 7 kasus.

Tentu ini dapat mewakili potret buram rendahnya kesadaran suami, masyarakat dan penegak hukum akan pentingnya perlindungan hak istri maupun anak untuk mendapatkan kehidupan yang nyaman di rumah sendiri. Suami, dengan superioritas laki-laki yang bertumbuh di lingkungan budaya patriarkhi. Masyarakat yang naif bahkan takut dituduh mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Dan penegak hukum yang belum serius menggunakan UU KDRT dan Perlindungan Anak.. Bersinergi, membuka ruang bagi meningkatnya angka KDRT di lingkungan kita masing-masing.

Padahal, dalam UU KDRT itu sangat jelas tertulis bahwa ancaman hukuman bagi suami yang rajin bertindak menyiksa anak dan istri tidak main-main. Tidak ada kata penangguhan penahanan demi melindungi korban. Masyarakat diberi ruang untuk berpartisipasi. Dan penegak hukum, diberi kekebasan untuk mempermudah penanganan.

Lihat saja pasal 15 UU KDRT yang menyatakan bahwa masyarakat diminta bahkan diwajibkan untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana; memberikan perlindungan kepada korban;memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Selain korban sendiri, kuasa keluarga atau orang lain dapat melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian (pasal 26 ayat 2), dan dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (pasal 27). Artinya, kita sebagai masyarakat bermoral harus juga mulai bersimpathy, berempathy, tidak hanya berhenti berkata “itu bukan urusanku!”.

Pengalaman Menangani Kasus KDRT Paling tidak saya belajar dari 2 (dua) kejadian kekerasan dalam rumah tangga. Keduanya hampir sama. Efek yang ditimbulkannya pun hampir sama. Istri tertekan, takut, traumatik. Anak tidak mendapat kenyamanan di masa kanak-kanak. Perbedaanya, kedua kasus ini terjadi pada 2 (dua) kelas sosial yang berbeda.. Kasus yang satu melibatkan kalangan intelektual, keluarga dokter dan yang satu lagi kelas sosial awam.

Pada kasus pertama yang sejak awal tidak diduga bisa terjadi kualitasnya justru lebih tinggi. Kejadian ini justru di daerah dimana kekerabatan, moral dan etika di junjung tinggi.Dampak yang ditimbulkannya juga meluas. Tidak sebatas suami-istri-anak, tetapi merembet ke pola hubungan keluarga yang lebih besar. Upaya perlindungan yang dilakukan keluarga, sahabat dan penegak hukum, oleh suami si pelaku justru dimaknai sebagai bentuk “upaya merusak” keluarganya.

Ketika istrinya yang juga seorang dokter itu, selama enam tahun mendapat perlakuan yang tidak manusiawi akhirnya memilih ranah hukum, si pelaku justru sibuk mencari “aktor intelektual”, tanpa berupaya merenungkan atau menyesali tindakannya yang justru di luar peri kemanusiaan, peri keintelektualan dan peri-peri lain yang mewajibkan seseorang suami tidak memperlakukan istri dan anak secara semena-mena.

Dari sebuah dokumen berjudul “Testimony…”, dapat diketahui berbagai bentuk penyiksaan fisik, hingga tubuh istrinya mengeluarkan darah dan penyikasan non-fisik, seperti umpatan, cacian  hinaan berlangsung berulang-ulang dan semakin sering. Proses hukum yang sempat dimulai ternyata harus kandas, ketika pihak istri akhirnya memilih untuk “kembali” mengharapkan perubahan suaminya.

Hampir sama dengan kasus pertama, seorang istri terpaksa harus lari dari rumahnya ke kampung halaman demi menyelamatkan diri dari kekerasan yang setiap hari dialaminya. Suami, sebagai pelaku dengan lugas mengatakan kepada keluarga korban kekerasan bahwa apa yang dilakukannya terhadap istrinya adalah haknya.

Dengan membawa 2 orang anak kembarnya dan harus tega meninggalkan 2 orang lagi bersama dengan suaminya yang gemar menyiksa anak itu, sang istri bermodalkan uang pas buat 3 tiket Jakarta – Medan, tanpa uang untuk membayar Air Port Tax, dengan sangat berat meninggalkan anaknya yang lain. Suami yang selama ini justru ia nafkahi menaruh kecurigaan yang luar biasa. Permasalahan ekonomi keluarga terlihat ikut berperan menambah kisruh berujung kekerasan ini.

Dari penuturannya, bahwa selama 4 tahun berkeluarga, sang istri diperlakukan tidak manusiawi. Umpatan, cacian, makian dan penghinaan plus siksaan fisik berupa pukulan, tendangan, tinju dan tamparan menjadi keseharian yang dihadapi.

“Saya, sudah tidak tahan lagi. Untuk didamaikan aku sudah trauma. Mendengar suaranya saja, saya dan anak-anak sudah ketakutan. Sebaiknya, kami pisah saja. Aku tak tahan lagi”, katanya ketika bertemu dengan Biro Advokasi GM-PSSSI&BBI Cabang Medan Senin (30/03).

Upaya hukum belum dilakukan mengingat pertimbangan anak yang masih di bawah penguasaan suami. “Anakku yang paling besar sejak kutinggalkan beberapa hari lalu sudah lari meninggalkan rumah pergi ke rumah famili, karena ketakutan mendapat perlakukan kasar dari bapaknya”, katanya sambil berurai air mata. “Bagaimana saya harus bersikap?”, katanya bertanya.

Ketua GM-PSSSI&BBI T.B. Simanjuntak menyikapi pertanyaan ini dengan secara terbuka menyatakan kesediaan organisasinya mendampingi korban KDRT ini. “Kami, akan ikut melindungi dan bahkan mendampingi hingga ke tangga hukum”, katanya.

Dari kedua kasus di atas, terlihat sebuah potret jelas bahwa akibat yang ditorehkan suami yang gemar KDRT adalah penderitaan dan trauma bagi istri dan anak. Lalu sebagai masyarakat berbudaya dan beragama, apa yang harus kita lakukan?

Poltak Simanjuntak
http://poltak.simanjuntak.or.id
YM: poltak_7765